Gaya Hidup

Akbarudin: Etika Terhadap Alam Semesta

SABBA.ID | #Artikel – Dimasa pandemi Covid-19 yang dialami oleh hampir seluruh penduduk bumi saat ini, sudah barang tentu menjadi situasi terberat yang harus dihadapi oleh setiap individu umat manusia.

Kondisi ini menimbulkan sekian banyak kecemasan dan beban psikologis universal yang menyentuh fikiran dan bahkan kegiatan dasar manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya.

Advertisement Space

Seperti larangan bekerumun, berkegiatan sosial, membangun interkasi secara langsung, dan kebijakan work from home (WFH), yang mengharuskan setiap individu harus bekerja dari rumah dan membatasi aktivitasnya keluar rumah.

Related Articles

Beberapa bulan yang lalu, otoritas berwenang (pemerintah) memberlakukan lock down, sebagi ikhtiar memutus mata rantai penyebaran virus Covid – 19.

Kebijakan tersebut dinilai sebagai keputusan yang tepat dan sudah sangat umum dilakukan oleh berbagai negara diseluruh dunia.

Namun secara umum, kita juga telah  mengetahui dan merasakan bahwa ada sekian banyak dampak yang harus ditanggung atas kebijakan lock down, diantara yang paling terlihat adalah kemerosotan laju perekonomian dunia dan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi sekian banyak pekerja industri dan perusahan swasta.

Serangan wabah Corona tak hanya menghantam sendi – sendi pokok human activity, ada semacam koreksi yang harus disadari secara implisit bahwa musibah ini bisa saja dianggap sebagai ‘kemarahan alam’ kepada penduduknya yang memperlakukanya secara brutal dan tak bertetika.

Kita telah mengetahui bahwa awal merebaknya virus ini terjadi akibat sebuah kejadian tak sengaja dari sebuah laboratorium kimia yang meledak dan mengeluarkan zat – zat berbahaya serta sangat mematikan apabila tersentuh atau tertular kepada manusia.

Advertisement Space

Penuluran jenis virus ini terjadi akibat proses interaksi antar seseorang yang terjangkit virus dengan orang lain yang terbebas dari virus. Apabila seseorang tidak mengetahui lawan bicaranya telah terpapar Covid – 19, maka besar kemungkinan seseorang tersebut akan tertulur virus akibat adanya kontak langsung dengan si penderita Virus.

Ini adalah salah satu proses penyebaran covid – 19 yang sangat umum diketehaui oleh masyarakat dunia. Dan baru – baru ini, sebagai upaya untuk memberantas penyeberan Covid – 19,  pemerintah telah melaksanakan program vaksinisasi sebagai tindakan medical solution, yang dianggap  menjadi standar biotik dunia untuk membunuh, dan menamatkan masa – masa sulit Pandemi Covid – 19.

Siapa yang harus bertanggungjawab?

Jika kita bertanya dan mencari siapa yang harus bertanggujawab atas musibah terberat yang menimpa umat manusia atas pandemic Covid – 19 ini, maka boleh jadi kita harus bertanya terlebihdahulu bagaimana awal mula virus ini muncul dan menyebar keseluruh dunia. 

Persoalan kepada siapa setiap penduduk bumi ini harus melontrakan rasa kecewa dan bahkwan rasa marahnya, sampai detik ini mungkin kita akan sedkit kesulitan menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut.

Tetapi sebagai insan  yang kritis dan menjungjung tinggi hak – hak asasi manusia, kita tetap perlu mencari tahu dan mendalami bagaiaman awal mula dan ujung dari pandemic Covid – 19 ini bergulir.

Paling tidak, yang mesti kita lakukan saat ini adalah dengan tetap mematuhi protocol kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan dan menjadi standar global.

Akan menjadi tanggungjawab bersama apabila beban pandemi Covid – 19 ini dijadikan sebagai evaluasi dan refleksi menyeluruh, yang tak hanya menyentuh pada aspek bencana biologis (kejadian murni), melainkan juga harus direfeleksikan dalam penjelasan dan atau pendekatan bagaimana manusia memperlakukan alam sekitarnya.

Kini, persoalan siapa yang mesti bertanggungjawab atas semua pandemi ini, nyaris tidak lagi menjadi tagline yang ramai dilaman media sosial.

Sebab mungkin saja, pihak – pihak yang terkait dengan penanggulangan pandemi Covid – 19, lebih dengan mudah melakukan tindak – tindakan preventif yang sudah sangat umum disuarakan dihampir setiap detik kehidupan kita. Jika diperhatikan lebih detail lagi, berapa banyak kampanye Social Distance, Mencuci tangan Menggunakan Sabun, Dan Menghindari Kerumunan, dalam satu detik dimedia sosial?, bandingkanlah dengan fikiran kritis yang dilontarkan oleh sebagian orang  dengan pertanyaan, siapa yang harus bertanggungjawab atas pandemic Covid – 19 ini? atau, apakah alam ini telah kehilangan sebagian besar kepunyaanya (hutan, pegunungan, tanah, lahan, udara, air, sumber daya hayati, dan lain sebagainya)?.

Dalam uraian yang singkat ini, penulis akan sedikit melihat pandemic Covid – 19 sebagai bencana alam yang erat kaitanya dengan etika lingkungan hidup.

Urgensi Etika Lingkungan Hidup

Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab adalah Mengapa kita perlu etika lingkungan hidup? Apa perlunya mengenai etika lingkungan hidup? Apa relavansinya?Apa gunanya?.

Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan prilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata – mata persoalan teknins. demikian pula krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya.

Tidak bisa disangkal bahwa krisis lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun nasional, sebagian besar bersumber dari prilaku manusia. Kasus – kasus pencemaran dan kerusakan, seperti di laut, huta, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada prilaku manusia yang tidak bertanggungjawab, tidak peduli dan hanya mementingan diri sendiri.

Menurut Arne Naes, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan prilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal.

Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup yang tidak hanya menyangkut orang perorang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntut manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.

Dengan ini dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan hidup global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental – filosofis dalam pemahaman atau carA pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. pada giliranya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan prilaku yang keliru terhadap alam.

manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang.

Oleh karena itu, pembenahanya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan prilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.

Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.

Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam.

Cara pandang seperti ini melahirkan sikap prilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

Etika antroposentrisme merupakan sebuah cara pandang Barat, yang bermula dari Aristitoles hingga filsuf – filsuf modern. Setidaknya, ada dua kesalahan fundamental dari cara pandang ini.

Pertama, manusia dipahami hanya sebagai mahluk sosial (social animal), yang eksistensinya dan identitasnya ditentukan oleh komunitas sosialnya.

Dalam pemahaman ini, manusia berkembang menjadi dirinya dalam interakasi dengan sesama manusia di dalam komunitas sosialnya. Identitas dirinya dibentuk oleh komunitas sosialnya, sebagaimana dia sendiri ikut membentuk komunitas sosialnya.

Manusia tidak dilihat sebagai mahluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Jadi, yang disebut sebagai norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuanya bagi manusia.

Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral, yaitu mahluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Etika tidak berlaku bagi mahluk lain di luar manusia.

Akibat dari paham antroposentrisme semacam ini, manusia secara bebas dan brutal memperlakukan alam dengan segala kepentingan dan tendensi hewaniahnya. Atas nama pembangunan dan lain sebagainya, alam menjadi target empuk untuk dieksploitasi dan dibalak sedemikian kejam. 

Padahal dalam Perspektif Islam misalnya, berabad – abad yang lalu sebagiamana yang diterangkan dalam Al – Qur’an, bahwa kerusakan alam baik didarat maupun dilaut, disebabkan oleh ulah tangan manusia.

Penggalan kalimat Al- Qur’an ini menjadi dasar bagaimana fenomena bencana alam semakin ramai dan sering terjadi ditengah kehidup umat manusia saat ini. Bisa jadi, Wabah Covid – 19 merupakan kausalitas dari sekian banyak kehancuran ekosistem alam akibat ulah tangah manusia.

Atau dengan kata lain, Covid – 19 tak hanya sekedar menjadi pandemi penyakit global yang terjadi secara rill (murni penyakit yang menyerang kesehatan manusia), melainkan sebagai peringatan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan alam semesta yang di motori oleh manusia.

Akibatnya sekali lagi, alam menampakan wajah bengisnya dengan berbagai bentuk, termasuk wabah penyakit yang menyeruak dan menimpa umat manusia seperti yang kita hadapi sekarang ini. Tentu saja, sebagai insan yang religius dan berfikir komprehensif, kita perlu mereview aspek lain yang mungkin terlalu jauh dari lingkaran problematika pandemi Covid – 19, dan yang tak kalah pentingnya adalah semoga Tuhan selalu mencurahkan hikmah pada setiap musibah.

Sebab, kita harus yakin bahwa masa – masa sulit ini pasti akan berakhir, dan berganti kepada masa yang stabil dan kembali kepada ritus kehidupan sebagaimana mestinya.

Oleh    : Akbaruddin, S.E.,M.,Ey
(Mantan Presiden Mahasiswa UIN “SMH” Banten Tahun 2013)

Show More

Redaksi

Teruntuk pembaca setia Sabba “Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna” (Pramoedya Ananta Toer)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!