Ruang TokohTerkini

Digitalisasi: Jalan Sunyi UMKM Desa Menuju Global | Ferdi Fernando Putra

UMKM desa sering kali dianggap pelengkap dalam pembangunan ekonomi nasional. Padahal, justru di desa tersimpan potensi besar yang bisa menembus pasar global. Produk kopi, kerajinan bambu, hingga batik khas pedalaman bukan sekadar komoditas, tetapi wajah kebudayaan kita. Sayangnya, jalan yang ditempuh UMKM desa untuk bertransformasi digital bukanlah jalan yang ramai dan gemerlap. Ia adalah jalan sunyi, penuh tantangan, di mana langkah harus diambil pelan namun pasti.

Jalan Sunyi UMKM Desa

Secara nasional, Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM. Dari jumlah itu, baru sekitar 20,2 juta pelaku usaha yang berhasil masuk ke ekosistem digital. Target pemerintah adalah 30 juta UMKM terdigitalisasi pada 2024, namun hingga pertengahan 2023, baru sekitar 22 juta yang tercapai. Angka ini menunjukkan masih banyak pelaku UMKM, terutama di desa, yang tertinggal di belakang.

Tantangan mereka berlapis: literasi digital rendah, kapasitas produksi terbatas, kualitas produk yang tidak konsisten, hingga hambatan infrastruktur internet. Bahkan untuk sekadar mengunggah foto produk pun, sebagian pelaku UMKM desa harus berjuang melawan sinyal yang putus-nyambung. Di sinilah, digitalisasi menjadi jalan sunyi yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang bersabar.

Bondowoso: Antara Potensi dan Hambatan

Bondowoso adalah contoh nyata. Kabupaten yang dikenal dengan julukan “Kota Tape” ini memiliki kekayaan UMKM mulai dari kopi Arabika Ijen Raung, batik khas Tamanan, hingga olahan kuliner lokal. Namun potensi besar itu tidak serta merta bisa menembus pasar digital.

Faktanya, ada 22 titik blank spot di Bondowoso, wilayah yang sama sekali tidak mendapat sinyal komunikasi. Desa-desa di Kecamatan Tamanan, Taman Krocok, hingga Sumber Kemuning termasuk yang masih bergelut dengan keterbatasan akses. Bagaimana UMKM desa bisa memasarkan produknya secara online jika sinyal pun tidak sampai ke rumah mereka?

Meski begitu, ada cahaya harapan. Pemerintah Kabupaten Bondowoso mulai memperluas jaringan fiber optic dan membangun infrastruktur LAN di Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT). Program sosialisasi digitalisasi UMKM di Desa Jebung Lor, Kecamatan Tlogosari, juga telah dilakukan. Bahkan pelatihan fotografi produk oleh LKBN ANTARA berhasil memberi pemahaman dasar bagi pelaku UMKM tentang pentingnya tampilan visual di marketplace.

Selain itu, Bank Indonesia bersama Diskoperindag Bondowoso mendorong penggunaan QRIS sebagai sarana transaksi digital. Inisiatif ini setidaknya membuka pintu agar UMKM desa lebih dekat dengan ekosistem keuangan digital.

Studi Kasus: Dari Batik hingga Kopi

Batik Tamanan menjadi salah satu contoh UMKM Bondowoso yang mulai belajar digitalisasi. Melalui program pelatihan Strategic Marketing Communication, pengrajin batik tidak hanya diberi pemahaman teknis, tetapi juga cara bercerita tentang produknya. Batik tidak lagi sekadar kain bermotif, melainkan identitas lokal yang punya daya tarik di mata dunia.

Demikian pula dengan kopi Bondowoso, yang telah diakui sebagai bagian dari kawasan Ijen Raung. Sebagian petani muda mulai mencoba menjual kopi secara daring, meski terkendala kapasitas produksi dan pemasaran yang belum konsisten. Upaya ini menunjukkan bahwa desa punya tekad untuk masuk ke ruang digital, meski jalannya terjal.

Perspektif Ferdi Fernando Putra

Ferdi Fernando Putra, mahasiswa asal Bondowoso yang kini menempuh studi agribisnis di Politeknik Negeri Banyuwangi, menyebut digitalisasi UMKM desa sebagai jalan sunyi. Dalam pandangannya, digitalisasi bukan sekadar memindahkan produk dari pasar tradisional ke marketplace. Ada proses panjang: belajar, gagal, lalu mencoba lagi.

“Produk desa jangan hanya dilihat sebagai barang jualan,” ungkap Ferdi dalam sebuah forum mahasiswa. “Ada cerita, ada budaya, ada identitas yang melekat. Justru itulah nilai lebih ketika produk desa masuk pasar digital. Kalau hanya ikut tren tanpa mempertahankan keunikan, UMKM desa akan tenggelam.”

Ferdi juga menegaskan bahwa digitalisasi di Bondowoso harus lebih dari sekadar proyek sesaat. Pelatihan harus berkelanjutan, infrastruktur harus merata, dan pendampingan harus menyentuh akar permasalahan: mulai dari kemasan, branding, hingga storytelling. Baginya, keberhasilan UMKM desa bukan hanya soal teknologi, melainkan tentang bagaimana menjaga jati diri sambil menembus batas global.

Harapan ke Depan

Bondowoso sudah menyalakan lilin di jalan sunyi digitalisasi. Namun lilin itu harus dijaga agar tidak padam. Perlu pelatihan berbasis potensi lokal, pendampingan jangka panjang, dan kolaborasi lintas pihak. Mahasiswa, pemerintah desa, komunitas kreatif, hingga platform digital harus bersinergi.

Lebih dari itu, UMKM Bondowoso harus berani menampilkan identitasnya. Tape Bondowoso bukan sekadar makanan, ia adalah kisah fermentasi budaya. Batik Tamanan bukan sekadar motif, ia adalah simbol ketekunan pengrajin. Kopi Ijen Raung bukan sekadar minuman, ia adalah aroma perjuangan petani.

Penutup

Digitalisasi memang jalan sunyi, tetapi bukan berarti jalan buntu. Dari desa-desa di Bondowoso, kita bisa belajar bahwa meski akses terbatas dan hambatan nyata, semangat untuk menembus pasar global tetap ada. Dengan dukungan nyata dan keberanian mempertahankan keunikan lokal, UMKM desa bisa berdiri sejajar dengan produk dari kota besar.

Seperti kata Ferdi Fernando Putra: “Biarkan desa menjadi cahaya kecil yang menerangi ruang digital. Dari jalan sunyi inilah, Bondowoso dan desa-desa lain akan menemukan jalannya menuju panggung global.”

Penulis : Ferdi Fernando Putra | Mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi | Ketua Divisi media informasi Hipmi PT BANYUWANGI | Anggota Divisi kepemudaan FKMPI JATIM

Advertisement Space



Show More

Redaksi

Teruntuk pembaca setia Sabba “Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna” (Pramoedya Ananta Toer)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!