Krisis Kepercayaan Sipil: Publik Semakin Jauh dari Semangat Kewarganegaraan Sejati

Oleh: Chaera Anjelica – Mahasiswi Universitas Pamulang Kampus Serang
Dalam sebuah negara yang sehat, semangat kewarganegaraan seharusnya menjadi tali pengikat antara individu dengan komunitas yang lebih besar. Ia menumbuhkan tanggung jawab bersama serta partisipasi aktif warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di masa kini, terasa adanya kerenggangan. Banyak warga merasa jauh dari semangat kewarganegaraan sejati. Fenomena ini kerap disebut sebagai krisis kepercayaan sipil-bukan sekadar kemalasan, melainkan hasil dari erosi sistematis akibat sejumlah faktor mendasar.
- Hilangnya Kepercayaan terhadap Institusi
Salah satu penyebab utama yang menjauhkan publik dari semangat sipil adalah hilangnya kepercayaan terhadap lembaga negara yang seharusnya mewakili mereka.
Penyakit Korupsi dan Impunitas. Ketika publik menyaksikan kasus korupsi yang masif dan terstruktur, serta melihat para pelaku sering lolos dari hukuman, timbul sinisme. Warga sulit merasa bertanggung jawab terhadap negara ketika sumber daya publik dijarah oleh segelintir elite. Hal ini mematahkan motivasi untuk berpartisipasi dan berkontribusi.
Kegagalan Mengatasi Masalah Nyata. Banyak institusi dinilai gagal menangani persoalan mendasar seperti kesenjangan ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Akibatnya, warga merasa sistem tidak bekerja untuk mereka. Kewarganegaraan pun direduksi menjadi sekadar kepatuhan, bukan partisipasi.
- Tantangan di Era Digital
Alih-alih memperkuat solidaritas, era digital justru memperparah perpecahan dan menjauhkan masyarakat dari semangat kewarganegaraan yang inklusif.
Gelembung Filter (Filter Bubble). Algoritma media sosial membuat warga hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka. Ruang dialog dan kompromi melemah, sementara polarisasi meningkat.
Agresi dan Cyberbullying. Diskusi publik yang seharusnya menjadi ajang pertukaran gagasan justru sering berubah menjadi arena kebencian. Akibatnya, banyak warga terdidik memilih mundur dari ruang publik, memberi ruang bagi suara ekstrem mendominasi.
- Dampak Globalisasi dan Individualisme
Globalisasi serta budaya individualistik telah mengubah cara orang memaknai identitas dan loyalitas mereka.
Individualisme yang Berlebihan. Budaya konsumerisme modern menempatkan kesuksesan pribadi di atas kepentingan bersama. Ketika orientasi hidup hanya pada kebutuhan ekonomi dan jasmani, semangat untuk berkontribusi pada kebaikan bersama pun memudar.
Identitas Transnasional. Banyak profesional muda kini merasa lebih terikat pada komunitas global daripada negara asal. Loyalitas terhadap gerakan sosial internasional atau profesi lintas batas membuat keterikatan emosional terhadap negara semakin longgar.
- Upaya Mengembalikan Kepercayaan dan Semangat Kewarganegaraan
Untuk mengatasi krisis ini, dibutuhkan upaya kolektif dari semua pihak — pemerintah maupun masyarakat sipil.
1. Restorasi Etika Elite. Lembaga negara harus memulihkan legitimasi publik melalui transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
2. Literasi Kewarganegaraan Digital. Pendidikan harus menanamkan etika berinteraksi di ruang digital, mendorong dialog yang sehat, dan mencegah polarisasi.
3. Aksi Komunitas. Masyarakat perlu kembali menemukan makna kewarganegaraan lewat gerakan lokal, dari lingkungan RT/RW hingga inisiatif sosial yang membangun rasa kepemilikan bersama.
Membangun kewarganegaraan sejati bukanlah tentang memaksa rakyat mencintai negaranya, melainkan menciptakan negara yang layak dicintai dan adil untuk diperjuangkan bersama.