
Lebak – Dugaan praktik “main mata” antara oknum pejabat di Resort Pemangku Hutan (RPH) Banten dengan pihak korporasi tambang kembali mencuat ke publik. Dua kasus besar menjadi sorotan: pertama, dugaan pembiaran aktivitas penambangan batubara ilegal di kawasan Hutan Resort Pemangku Hutan (RPH) Sawarna, Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Bayah, dan kedua, pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) terhadap PT Inti Muara Sari seluas ±190 hektar untuk tambang pasir kuarsa.
Kedua kasus tersebut dinilai sebagai bentuk nyata pengkhianatan terhadap rakyat dan amanat perlindungan hutan negara, di mana RPH Banten justru diduga ikut melindungi aktivitas yang bertentangan dengan hukum dan kepentingan lingkungan hidup.
Dari hasil investigasi lapangan sejumlah aktivis, tambang batubara ilegal di kawasan hutan Sawarna telah berlangsung cukup lama tanpa tindakan tegas. Padahal, kegiatan itu jelas melanggar Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja.
“Tidak mungkin RPH tidak tahu. Kegiatan tambang itu berlangsung di wilayah pengawasan mereka, tapi tidak ada penindakan, tidak ada laporan resmi, tidak ada upaya pencegahan. Ini kuat dugaan ada permainan di balik diamnya aparat kehutanan,” Muhlas Koordinator Forum mahasiswa Banten untuk agraria, Jumat (17/10/2025).
Muhlas menyebut, pembiaran sistematis terhadap tambang ilegal ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya integritas pejabat kehutanan setempat. Ia menilai, ada indikasi transaksi kepentingan antara oknum RPH dan pelaku tambang, maupun pembiaran terstruktur demi keuntungan pribadi.
Ironisnya, di tengah pembiaran tambang ilegal tersebut, pemerintah melalui RPH Banten justru memberi restu pada PT Inti Muara Sari untuk memanfaatkan kawasan hutan seluas ±190 hektar bagi pertambangan pasir kuarsa. Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) itu diduga diberikan tanpa proses yang transparan dan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
“Bagaimana mungkin RPH bisa memberi restu alih fungsi kawasan hutan sebesar itu, sementara tambang ilegal di bawah hidung mereka dibiarkan? Ini menunjukkan RPH bukan lagi pelindung hutan, tapi perusak hutan negara,” ujar Muhlas
Ia menambahkan, proyek tambang pasir kuarsa PT Inti Muara Sari berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis besar di wilayah pesisir selatan Lebak. Hilangnya vegetasi dan pembukaan lahan besar-besaran akan memperparah risiko banjir, longsor, serta krisis air bersih bagi warga sekitar.
Aktivis lingkungan menilai, dua kasus ini saling berkaitan dan menunjukkan pola yang sama: pengabaian fungsi pengawasan dan dugaan keterlibatan pejabat kehutanan dalam praktik rente tambang. Oleh karena itu, mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Polda Banten segera melakukan audit investigatif terhadap seluruh jajaran RPH Banten, terutama RPH Sawarna dan BKPH Bayah.
“Kalau KLHK dan aparat hukum serius, mereka harus bongkar jaringan ini. Jangan sampai hutan dijual murah lewat permainan izin dan pembiaran tambang ilegal. RPH Banten harus bertanggung jawab secara hukum dan moral,” pungkas Muhlas.
Masyarakat sipil di Banten kini bersiap untuk menggelar aksi besar menuntut pencopotan pejabat RPH yang terlibat serta pencabutan izin PT Inti Muara Sari. Mereka menegaskan, hutan bukan ladang bisnis pribadi, dan negara tidak boleh kalah oleh permainan kotor para oknum di balik meja kehutanan.