Semarang – Program pemberian hak integrasi dan asimilasi di rumah bagi warga binaan dan anak sebagai pencegahan dan penanggulangan penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) oleh Kemenkum HAM di Lapas Kelas I Semarang diduga diwarnai praktik pungutan liar (Pungli).
Informasi ini berdasarkan keterangan narapidana yang telah mendapat hak asimilasi.
Sebut saja Jack (Red-Samaran), Mantan narapidana itu mengungkapkan, pungli tersebut dilakukan oleh empat orang petugas Lapas.
“Pegawai Bimbingan Pemasyarakatan (Bimpas) yang suka pasang tarif dan minta uang buat pengurusan asimilasi, pembebasan bersyarat (PB) dan cuti bersyarat (CB) itu ada empat orang. Saya tahu nama orang-orangnya,” katanya.
Narapidana yang belum lama menghirup udara bebas ini menyampaikan bahwa Pungli itu terjadi ketika narapida berusaha menanyakan asimilasi kepada salah satu dari empat petugas tersebut.
Saat itu, petugas menjawab bahwa berkas program asimilasi yang bersangkutan belum selesai.
“Nah, di situ dia (petugas) ngomong, ‘ada anggaran berapa?’ baru di situ ada negosiasi nominal. Kalau deal proses dilakukan dan SK asimilasi sesuai waktu,” ungkap dia.
Saat ditanya apakah praktik Pungli pengurusan asimilasi ini terjadi secara terokordinir antara petugas dengan pejabat di lingkungan Lapas, jack yang meminta identitasnya dirahasiakan ini mengaku tidak tahu betul.
“Saya tidak tahu kalau urusan itu. Yang pasti membayar sejumlah uang, saat itu saya memberi petugas angkanya hampir mendekati 1,5 Juta,” katanya.
Sebelumnya, seorang narapidana lain yang telah mendapat hak asimilasi juga mengakui bahwa dirinya juga harus membayar uang sebesar 1.250.000 kepada petugas di Lapas Kelas I Semarang.
“Sebenarnya gak ada biaya. Tapi biasalah petugas, kalau gak ada uang ya gak dipercepat. Aku dulu nyebut (menawar) nominal paling rendah, awalnya Rp 500 ribu. (Karena belum bisa) Akhirnya tak naikkan lagi Rp 500 ribu, jadi Rp 1 juta. Terus uang bensin Rp 250 ribu,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp.
Ia mengungkapkan banyak rekannya yang juga mengurus asimilasi menggunakan ‘pelicin’. Bahkan, nominal paling besar yang dia ketahui sampai Rp 5 juta, tergantung kasus terpidana yang bersangkutan.
“Teman-teman pada ngurus semua. Tak bilangi buka nominal rendah karena gak ada besukan. Soalnya kesempatannya sampai Juni. Biasanya Narkoba (narapidana kasus narkoba) yang tinggi itu dimintai Rp 5 juta kalau nggak salah,” jelasnya.
Disinggung terkait konsekuensi apabila tidak menggunakan uang sebagai pelicin, sumber menyebut bahwa program asimilasi bisa dipersulit.
“Biasanya surat SK turun, tapi dibilang belum turun. Akhirnya pulang ya itu kayak kita gak ngurus asimilasi. Meski normal, kada ada yang dimintai uang, temanku kemarin dimintai Rp 300 ribu,” ungkapnya.
Diketahui, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memang kembali memperpanjang program pemberian hak integrasi dan asimilasi di rumah bagi warga binaan pemasyarakatan dan anak sebagai pencegahan dan penanggulangan penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Dalam program yang diatur dalam Pemenkumham RI No 43 Tahun 2021 ini, Kemenkumkam memberikan asimilasi di rumah bagi warga binaan.
Jack menegaskan bahwa sebenarnya bukan hanya saat asimilasi saja para petugas melakukan pungli, tapi di masa-masa kita menjalani masa pidana itu, ada saja petugas yang melakukan pungli.
“Misalnya masalah kamar, masalah HP, masalah Makanan, itu ya pasti para petugas kasih Kode ke kita, kalo hal-hal yang kita mau itu tidak gratis,” tandasnya. (Red).