HukrimPemerintah

Mengapa UU No. 6 Tahun 2023 Layak Disebut Pembangkangan Konstitusi Hijau

Oleh: Sahrul Hikam – Kandidat Bakoornas LKBHMI PB HMI 2025-2027

Lingkungan hidup yang baik dan sehat bukanlah hadiah, melainkan hak konstitusional setiap warga negara. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 secara tegas menempatkan keberlanjutan ekologis dan keadilan lintas generasi sebagai amanat negara. Namun, realitas legislasi kita kerap memantulkan ironi: regulasi yang seharusnya menjadi benteng, justru meruntuhkan perlindungan lingkungan.

Advertisement Space

Salah satu contohnya adalah pengaturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Undang-undang ini, yang mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2022 sebagai pengganti UU Cipta Kerja, telah memangkas ruang partisipasi publik hanya untuk “masyarakat yang terkena dampak langsung.” Kelompok pemerhati lingkungan dan masyarakat terdampak tidak langsung dipinggirkan dari proses yang seharusnya inklusif.

Di sinilah masalah utamanya. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan prinsip meaningful participation—hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk memperoleh penjelasan atas pendapat yang disampaikan. Prinsip ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari kesadaran bahwa partisipasi publik adalah syarat sah bagi demokrasi ekologis.

Advertisement Space

Ketika ruang partisipasi dikerucutkan, sesungguhnya kita sedang menyusutkan hak konstitusional warga. Lebih dari itu, penggunaan Perppu untuk menggantikan koreksi Mahkamah Konstitusi merupakan langkah yang problematik secara formil. Alih-alih menghormati putusan MK, negara justru mencari jalan pintas—sebuah tindakan yang, dalam bahasa akademik, dapat dikategorikan sebagai constitutional disobedience.

Istilah green constitutional disobedience yang saya gunakan dalam penelitian ini menggambarkan fenomena tersebut: pembangkangan terhadap amanat konstitusi hijau demi alasan efisiensi atau investasi, tanpa mempertimbangkan implikasi ekologis jangka panjang.

Kita perlu memahami bahwa AMDAL bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah instrumen demokrasi ekologis—tempat masyarakat dapat menguji, mengkritik, bahkan menolak rencana pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Mengurung AMDAL di balik tembok partisipasi sempit berarti menutup pintu pengawasan sosial.

Revisi terhadap UU No. 6 Tahun 2023 adalah kebutuhan mendesak. Pemerintah dan DPR harus mengembalikan ketentuan AMDAL ke semangat aslinya: terbuka, partisipatif, dan inklusif. Sebab, tanpa keberanian untuk memulihkan prinsip keterbukaan, kita akan terus berjalan di jalur yang menjauh dari konstitusi hijau yang kita cita-citakan.

Pada akhirnya, memilih menjaga lingkungan adalah memilih menjaga masa depan bangsa. Dan masa depan itu hanya dapat dibangun jika kita setia pada konstitusi, bukan mengakali atau mengabaikannya.

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!