NasionalRuang Tokoh

Mengenal Ariyanto Bakri, Dewa Hukum Terperosok di Sel Tikus

Sebelumnya, kita sudah berkenalan dengan Marcella Santoso. Sekarang dengan Ariyanto Bakry, tandem dan bestienya. Sambil seruput kopi di Kafe Satu Watt Jalan Martadinata Pontianak, yok kita sisir rambut si pengacara berlumuran dosa ini.

Kalau hukum itu panggung, maka Ariyanto Bakri adalah pemeran utama, sutradara, sekaligus pemilik panggungnya. Ia berjalan di lorong hukum bukan sebagai pengacara biasa, tapi sebagai titisan Themis yang diberi blazer Armani, dasi Hermes, dan Ferrari merah menyala yang kalau diparkir bisa bikin hakim lupa tugas negara. Sebelum ditangkap, ia adalah simbol kesuksesan, kejayaan, dan kemewahan yang seolah bersabda, “Keadilan itu penting, tapi jangan lupa branding.”

Advertisement Space

Dikenal sebagai pendiri Ariyanto Arnaldo Law Firm, ia tak sekadar mencetak kemenangan di meja hijau, tapi juga di feed Instagram. Foto-foto dirinya berpose di depan Porsche, berpidato di konferensi internasional, hingga bersantai di kapal pribadi sambil membaca berkas perkara (atau pura-pura membaca), menjadikannya semacam pengacara Avengers versi Indonesia, minus moralitas. Gaya hidupnya bukan kaleng-kaleng. Ferrari Spider, Nissan GT-R, Mercedes Benz, dua kapal pribadi, dan uang tunai dalam tiga mata uang dunia. Kalau saja Kejaksaan Agung buka lelang, hasil sitaan dari rumah Ariyanto bisa membiayai subsidi BBM se-Kalibar selama setahun penuh.

Dia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan konon katanya, skripsinya sempat dibaca dosen sambil berlinang air mata, karena terlalu brilian atau terlalu banyak catut pasal, kita tak pernah tahu. Ia ahli dalam menangani bisnis skala raksasa, dengan klien sekelas Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, tiga perusahaan yang, entah bagaimana ceritanya, kemudian jadi objek perkara korupsi minyak goreng senilai Rp17,7 triliun. Ya, betul. Angka itu bukan hasil ketikan salah. Triliun, Bung. Bukan miliaran. Kalau dikumpulkan dalam bentuk receh seratusan, bisa bikin Gunung Salak terlihat seperti bukit teh celup.

Lalu, di sinilah klimaksnya, bersama Marcella Santoso, partner in crime, partner in legal strategy, dan partner in downfall, Ariyanto diduga menyusun skema suap senilai Rp60 miliar kepada Muhammad Arif Nuryanta, eks Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, dengan bantuan panitera Wahyu Gunawan. Duit itu bukan sekadar “uang rokok” atau “uang terima kasih”. Itu uang pengendali semesta peradilan, dikirim dalam beberapa tahap, disalurkan untuk memastikan majelis hakim membaca berkas perkara dengan “perasaan cinta kasih dan toleransi tingkat tinggi”, yang berujung pada vonis bebas untuk korporasi yang seharusnya bertanggung jawab.

Advertisement Space

Lebih epiknya, menurut penyidik, mereka berdua tidak cuma menyuap, mereka juga aktif merancang strategi besar untuk membelokkan proses hukum. Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini high-level jurisprudential heist, plot yang layak dijadikan season baru “Money Heist: Indonesia Edition”, dengan setting ruang sidang dan soundtrack suara mesin hitung uang.

Kini Ariyanto, sang maestro legalitas, berada dalam jeruji. Ironisnya, sosok yang dulu menentukan nasib orang dengan satu ketukan tangan di meja kini harus menunggu giliran untuk pakai kamar mandi umum. Ia tak lagi menenteng tas Louis Vuitton, tapi kresek isi sabun batangan dan sikat gigi penjara. Ia tak lagi memikirkan strategi hukum multinasional, melainkan strategi bertahan hidup di sel sempit, sambil sesekali menatap dinding dan mungkin bertanya dalam hati, “Apakah ini pengadilan takdir?”

Ariyanto Bakri bukan sekadar jatuh. Ia runtuh dari puncak Olympus, dengan blazer sobek, harga diri remuk, dan nama baik yang kini lebih kotor dari lap pel lantai rutan. Tapi begitulah kisah para dewa hukum palsu, mereka terbang terlalu tinggi dengan sayap kertas, dan akhirnya, hujan hukum pun menyapu mereka jatuh ke bumi.

Terima kasih, Ariyanto, telah mengingatkan kita bahwa di balik toga pengacara yang gagah, bisa tersembunyi mentalitas calo parkir berjas. Engkau kini bukan hanya tersangka. Engkau legenda. Dalam buku hitam hukum Indonesia, namamu akan abadi. Dicetak tebal. Dengan catatan kaki, “Pengacara sultan, akhir cerita setara sinetron malam Jumat.”

camanewak

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!