PemerintahSerangTeknologi

Pemerhati Kritik Dimyati, Gimik Populis Tanpa Arah

Serang Sabba.id – Manuver politik Dimyati Natakusumah selaku Wakil Gubernur Provinsi Banten belakangan kembali menyita perhatian publik. Gaya komunikasi populis yang ditampilkan Dimyati dalam berbagai kesempatan dinilai mengikuti jejak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang dikenal dengan pendekatan blusukan, konten humanis, dan narasi kedekatan dengan rakyat kecil.

Namun, sejumlah pemerhati dan aktivis menilai pendekatan Dimyati tak lebih dari upaya menduplikasi tanpa esensi. “Apa yang dilakukan Pak Dimyati saat ini cenderung gimik, menjiplak pola komunikasi Dedi Mulyadi tapi tidak menghadirkan nilai baru atau tawaran kebijakan yang konkret,” ujar Ahmad Syafaat selaku Pemerhati Kebijakan Publik.

Advertisement Space

Dalam bukunya The Symbolic Uses of Politics (1964), Edelman menyatakan bahwa banyak tindakan politik sebenarnya tidak memiliki efek substantif, melainkan hanya bertujuan menciptakan simbol atau kesan.

Konten Ada, Gagasan Tidak

Dimyati tampak aktif memproduksi konten media sosial, mulai dari menyapa pedagang kecil, masuk ke rumah-rumah warga, hingga menampilkan dirinya dalam suasana sederhana. Meski mendapat perhatian publik secara visual, banyak yang mempertanyakan relevansi dengan agenda pembangunan dan visi kepemimpinan.

Advertisement Space

“Rakyat Banten bukan penonton sinetron politik. Mereka ingin tahu apa solusi konkret dari tokoh seperti pak Dimyati terhadap persoalan pendidikan, kesehatan, ketimpangan sosial, dan keterbukaan anggaran,” lanjut Syafaat.

Gaya Dedi, Tapi Bukan Dedi

Perbandingan dengan Dedi Mulyadi tak bisa dihindari. Dedi dikenal luas karena gimiknya selalu diiringi dengan kerja nyata, seperti reformasi layanan publik, revitalisasi kebudayaan Sunda, hingga advokasi terhadap masyarakat kecil.

“Masalahnya, Dimyati belum terbukti punya rekam jejak reformasi yang bisa disandingkan. Kalau cuma ikut gaya, ya publik bisa menilai sendiri mana yang otentik, mana yang numpang trend” kritik Ahmad Syafaat yang juga selaku Direktur Pusat Riset dan Kajian Masyarakat.

Politik Era Digital Tak Bisa Tipu Rakyat

Di era keterbukaan informasi, masyarakat kini mampu menilai mana komunikasi yang tulus dan mana yang hanya pencitraan. Kehadiran tokoh di media sosial tidak lagi cukup jika tidak diimbangi dengan kerja nyata dan agenda yang jelas.

“Zaman sudah berubah. Tokoh yang hanya tampil di kamera tanpa hadir di kebijakan, cepat atau lambat akan kehilangan legitimasi,” kata syafaat yang juga selaku mahasiswa Pasca Sarjana UNMA Banten.

Tantangan Etika Komunikasi Politik

Hal ini menjadi pengingat pentingnya etika komunikasi politik di ruang publik. Rakyat butuh pemimpin yang bisa diajak berdialog, bukan hanya tokoh yang muncul sekilas untuk kepentingan elektoral.

“Ini bukan soal gaya atau viral, tapi soal masa depan Banten. Kita butuh figur yang menggerakkan, bukan yang menggoda kamera,” tutupnya.**

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!