NasionalPendidikan

Penggunaan Nama “Duta Baca Indonesia” oleh Swasta Berpotensi Melanggar Regulasi

JAKARTA – Setelah munculnya laporan investigatif mengenai ajang “Duta Baca Indonesia” versi swasta yang menggunakan sistem voting berbayar, Gol A Gong, Duta Baca Indonesia 2021–2025 resmi dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), menyampaikan keberatan atas penggunaan nama tersebut oleh pihak yang tidak memiliki afiliasi dengan program resmi literasi nasional.

Dalam keterangannya, Gol A Gong menyatakan bahwa penggunaan nama “Duta Baca Indonesia” oleh ajang swasta berpotensi merugikan dirinya secara pribadi dan membingungkan publik.

Advertisement Space

Gol A Gong menegaskan bahwa akun @dutabacaindonesia_ tidak terkait dengan perpusnas dan tidak terkait dengan dirinya sebagai Duta Baca Indonesia.

“Duta baca itu gak etis kalau harus bayar. Saya khawatir para peserta itu menganggap ini dari negara. Apalagi saya akan selesai di 2025, saya khawatir mereka menduga akan menggantikan saya. Kalau tidak, sebaiknya jangan pakai nama ‘Duta Baca Indonesia’, karena itu sudah milik negara.” ujar Gol A Gong.

“Kalau pakai nama yang sama, orang bisa mengira itu bagian dari saya atau Perpusnas. Bisa menimbulkan salah paham dan merugikan secara reputasi,” tambahnya.

Advertisement Space

Ia juga menjelaskan bahwa untuk bisa menjadi Duta Baca Indonesia, ada kriteria yang jelas dan tidak bisa sembarangan:

“Untuk jadi Duta Baca Indonesia itu tidak sembarangan. Pertama, dia harus publik figur. Kedua, dia harus jadi role model. Ketiga, punya kompetensi di wilayah literasi. Dan yang keempat, harus punya komunitas baca.” katanya.

Sebelumnya, dilaporkan bahwa akun Instagram @dutabacaindonesia_ mengadakan kontes pemilihan “Duta Baca Indonesia 2025” yang memuat sistem voting berbayar via QRIS dan biaya karantina online, tanpa ada penilaian berbasis literasi atau keterlibatan dari lembaga resmi seperti Perpusnas.

Peserta yang mendapatkan vote terbanyak ditentukan sebagai pemenang, dengan biaya dukungan Rp30.000 per lima suara, serta kewajiban membayar biaya karantina dan lisensi sebesar Rp500.000. Syarat seleksi tidak mencantumkan kriteria literasi, dan yayasan penyelenggara tidak terdaftar secara resmi di situs Kementerian Hukum dan HAM.

Saat tulisan tersebut dikonfirmasi ke penyelenggara, tidak ada respons. Akun Instagram sempat ditutup sementara, lalu dibuka kembali dengan konten peserta baru. Dalam bio akun, penyelenggara tetap menyebutkan nama “Duta Baca Indonesia” tanpa klarifikasi hubungan dengan program resmi negara.

Aspek Hukum: Bisa Ditindak?

Terkait penggunaan nama program negara oleh pihak swasta, Setiawan Jodi Fakhar, S.H atau akrab disapa Santri Lawyer, seorang praktisi hukum, menyatakan bahwa secara regulasi, tindakan ini berpotensi melanggar aturan.

“Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesamaan penamaan daripada ‘Duta Baca Indonesia’ itu sendiri. Padahal secara regulasi, nama ‘Duta Baca Indonesia’ melekat pada program Perpustakaan Nasional yang tercantum di dalam Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021,” jelasnya.

Dalam peraturan itu, dijelaskan dalam pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Duta Baca Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a ditetapkan oleh Kepala Perpusnas”

Santri Laywer menekankan bahwa regulasi tersebut memberi otoritas eksklusif kepada Perpusnas untuk menentukan siapa yang layak menyandang gelar tersebut. Dengan demikian, penggunaan nama yang sama oleh pihak swasta tanpa dasar hukum maupun izin tertulis merupakan pelanggaran administratif dan bisa dikategorikan sebagai bentuk penyesatan publik.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, penyelenggaraan kegiatan yang bersifat edukatif dan sosial harus dijalankan oleh yayasan, bukan PT. PT hanya bisa menjalankan kegiatan sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam akta pendiriannya. Jika tidak sesuai, maka penyelenggaraan kegiatan tersebut bisa melanggar aturan administratif dan hukum.

“Jika yayasannya tidak terdaftar, dan kegiatan pendidikan dijalankan tanpa otoritas yang sah, maka penyelenggara bisa diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,” tegasnya.

Pasal tersebut menyebut:
“Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

Dalam konteks ini, pihak yang dirugikan adalah Perpusnas dan Gol A Gong selaku Duta Baca Indonesia yang sah, serta masyarakat yang tertipu oleh klaim dan kemasan visual seolah-olah ajang ini resmi.

Lebih dari sekadar masalah legalitas, praktik ini juga menggambarkan ancaman nyata terhadap nilai-nilai literasi. Penggunaan nama besar, voting berbayar, serta biaya karantina yang tak menjamin substansi membuat ajang ini rentan menjadi ladang komersial tanpa dampak edukatif.

“Peserta yang mendapatkan label duta baca Indonesia dari yayasan tidak jelas tersebut tidak akan mendapatkan legitimasi apa pun. Gelar itu tidak punya pengaruh baik di bidang literasi maupun pengakuan kelembagaan,” tambah Santri Lawyer.

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!