PandeglangPemerintahTerkini

Sekolah Gratis Untuk Siapa?

Penulis: Ocit Abdurrasyid Siddiq

Gubernur Banten terpilih, Andra Soni punya tanggung-jawab moral sekaligus tanggung-jawab politik setelah dilantik. Dia mesti segera memenuhi janjinya untuk mewujudkan Program Sekolah Gratis atau PSG, yang merupakan jargon politiknya ketika berkampanye pada Pemilihan Kepala Daerah serentak beberapa waktu lalu.

Advertisement Space

Seperti halnya janji Presiden RI Prabowo, yang dalam kampanyenya melontarkan akan mewujudkan program Makan Bergizi Gratis atau MBG, ternyata untuk mewujudkan keduanya -Sekolah Gratis milik Andra Soni dan Makan Bergizi Gratis milik Prabowo- tidak semudah membalikan telapak tangan.

Keduanya membutuhkan dana yang sangat besar. Bahkan untuk program MBG, Prabowo “terpaksa” melakukan langkah efisiensi bagi hampir seluruh Kementerian dan Lembaga. Pembiayaan bagi MBG ternyata jauh lebih besar dibanding pembiayaan untuk Bantuan Operasional Sekolah atau BOS yang selama ini sudah ada.

Advertisement Space

Baik MBG maupun PSG memiliki kesamaan istilah, yaitu “gratis”. Sebuah istilah yang populis yang bisa menuai simpati dan dukungan dari rakyat. Gratis adalah cuma-cuma atau tidak dipungut bayaran. Ungkapan gratis ditujukan untuk suatu hal, benda, atau jasa yang diberikan secara cuma-cuma tanpa dipungut bayaran.

Wajar bila dengan jargon gratis ini menuai dukungan politik dari rakyat. Dengan “gratis” inilah -satu dari sekian faktor lainnya- baik Prabowo juga Andra Soni menjadi yang terpilih sebagai pemimpin. Kini mereka dihadapkan pada situasi yang “memaksa” mereka untuk memenuhi janjinya.

Khusus untuk PSG milik Andra Soni, akan diberlakukan bagi sekolah tingkat lanjutan atas yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Untuk diketahui, bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah pertama merupakan kewenangan pemerintah kabupaten dan kota.

Saat ini, Pemerintah Provinsi Banten sedang menggodok aturan yang kelak akan menjadi Peraturan Gubernur atau Pergub sebagai dasar hukum bagi PSG di Banten. Telah digelar Focus Group Discussion atau FGD sebagai media bagi pemerintah untuk mendapatkan saran, masukan, serta tanggapan dari berbagai stakeholders pendidikan.

Sebagai bagian dari stakeholders pendidikan, Penulis terdorong untuk turut urun-pemikiran dalam merencanakan skema PSG ini. Salah satu yang mesti mendapat perhatian dari kita adalah penggunaan terminologi gratis itu sendiri.

Gratis sebagai sebuah jargon politik itu sangat seksi sebagai cara untuk menggaet hati pemilih. Tetapi bisa menjadi bumerang ketika diimplementasikan. Karenanya, Penulis menyarankan agar terminologi ini diubah atau diganti dengan penamaan lain yang lebih normatif, misalnya Bantuan Operasional Sekolah Daerah atau BOSDA. Atau mungkin bisa menggunakan nama lain.

Bila muncul pertanyaan, lho bukankah sudah ada BOSDA di Banten dan itu sudah digulirkan sejak kepemimpinan Gubernur Wahidin Halim? Ya, memang benar. Karenanya, dengan PSG yang dinamai dan dimaknai sebagai BOSDA merupakan program kelanjutan dari BOSDA yang selama ini sudah ada.

Bukankah dengan penamaan begitu membuat tidak spesifik dan tidak mencirikan bahwa program ini merupakan milik Andra Soni? Publik akan tahu dan paham bahwa PSG yang direduksi menjadi BOSDA merupakan program unggulan Andra Soni. Publik akan mengenang bahwa “di zaman Andra Soni BOSDA mengalami kenaikan yang sangat signifikan”.

Mengapa mesti menghindari terminologi “gratis”? Ya, karena itu tadi. Istilah ini berpotensi akan menuai polemik karena mispersepsi di kalangan publik. Publik akan memaknai bahwa gratis itu ya cuma-cuma tanpa bayar. Padahal kenyataannya masih ada bayaran.

Lho koq gratis tapi masih bayar? Nah ini persoalan berikutnya. Menurut Pemprov Banten, rencananya pada tahun anggaran 2025 ini, PSG baru akan dimulai pada awal tahun pelajaran baru, yaitu pada bulan Juli 2025. Dan yang akan dicover oleh PSG ini baru Kelas X. Jadi belum bisa mengcover seluruh peserta didik.

Logikanya, karena Kelas XI dan Kelas XII belum tercover oleh PSG, maka bagi mereka tidak atau belum gratis. Konsekuensi logisnya, bagi mereka masih dikenakan kewajiban membayar iuran seperti selama ini diberlakukan. Nah, perkara rinci seperti inilah yang bisa luput dari perhatian publik yang berpotensi menuai polemik tersebut.

Selain itu, bila yang dicover oleh PSG baru hanya Kelas X lalu disertai dengan ketentuan bahwa sekolah tidak diperkenankan masih memungut iuran, maka kuota yang hanya untuk Kelas X ini jelas tidak akan mencukupi bila harus “mensubsidi” peserta didik lainnya yang tidak atau belum tercover.

Misalnya begini. Pada tahun pelajaran baru bulan Juli nanti, sekolah mendapatkan siswa baru sebanyak 40 orang. Lalu mendapat dana bantuan PSG sebesar Rp. 250.000 per siswa. Maka sekolah itu akan mendapatkan bantuan dana untuk bulan Juli sebesar Rp.10.000.000.

Bila tanpa pembiayaan dari wali siswa Kelas XI dan Kelas XII sebagaimana yang diterapkan selama ini, maka angka Rp. 10.000.000 itu tidak akan cukup untuk biaya operasional bulanan. Sekedar untuk diketahui, hanya untuk gaji atau honor guru saja -di swasta umumnya tidak ada guru PNS- itu tidak akan mencukupi.

Jadi, sebaiknya Pergub yang akan disusun itu tidak mencantumkan larangan bagi sekolah untuk melibatkan wali siswa dalam hal pembiayaan pendidikan anak-anak mereka. Apalagi bila Pergub itu disertai dengan adanya ketentuan khusus yang mengatur peruntukan dana bantuan PSG tersebut.

Seperti halnya selama ini. Ketika sekolah telah mendapatkan BOS yang bersumber dari APBN dan BOSDA yang bersumber dari APBD Provinsi Banten, ada beberapa kegiatan sekolah yang tidak bisa dibiayai dari dana bantuan pemerintah tersebut. Sekolah dalam hal ini melibatkan kontribusi dari wali siswa.

Yang mesti diingat juga adalah bahwa PSG ini sebaiknya hanya menjadi pengganti kewajiban wali siswa dalam pembiayaan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan atau SPP, yang dibayarkan oleh wali siswa secara rutin tiap bulan. Bukan dimaknai sebagai pengganti biaya secara keseluruhan.

Bagi sekolah negeri milik pemerintah yang seluruh pembiayaannya ditanggulangi oleh pemerintah, maka perkara “gratis” ini bisa diterapkan secara menyeluruh. Tetapi berbeda dengan swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang untuk mendirikan, membangun, dan mengelola sekolah perlu mengeluarkan modal dan pembiayaan.

Sekolah swasta itu beragam. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang jumlah siswanya sedikit, ada yang siswanya banyak. Ada yang memiliki sarana pembelajaran yang lengkap, ada juga yang minim perlengkapan. Karenanya, ada yang pembiayaannya terjangkau, ada juga yang mahal. Beberapa diantaranya menerapkan sistem berasrama atau boarding school.

Atas kondisi sekolah swasta yang beragam ini, maka PSG tidak bisa diterapkan secara sama dan merata. Artinya, dengan adanya PSG tidak bisa serta merta sekolah bisa membebaskan wali siswa dari kewajiban turut serta dalam hal pembiayaan pendidikan anak-anaknya.

Penulis menyarankan, bagi sekolah yang menerapkan jumlah SPP nya sama dan atau di bawah jumlah bantuan dana dalam PSG, maka di sekolah tersebut diberlakukan ketentuan tidak lagi memungut iuran dari wali siswa. Sementara untuk sekolah yang jumlah SPP nya di atas jumlah bantuan PSG, sekolah tersebut diperbolehkan melibatkan wali siswa dalam pembiayaan sisanya.

Misalnya begini. Ada sekolah yang SPP nya Rp. 200.000 per bulan per siswa. Lalu sekolah tersebut mendapatkan bantuan dana PSG dengan kuota sebesar Rp. 250.000 per bulan per siswa. Maka bagi sekolah tersebut tidak boleh lagi memungut iuran.

Sebaliknya, ada sekolah yang SPP nya Rp. 600.000 per bulan per siswa. Lalu sekolah tersebut mendapatkan bantuan dana PSG dengan kuota sebesar Rp. 250.000 per bulan per siswa. Maka bagi sekolah tersebut masih diperkenankan memungut iuran dari wali siswa sebesar sisanya, yaitu Rp. 350.000.

Untuk PSG ini sebaiknya Pemprov Banten memberikan pilihan kepada sekolah sebagai tawaran untuk menerimanya atau tidak menerimanya. Konsekuensinya, bagi sekolah yang menerima maka mesti mengikuti aturannya. Aturan yang sama tidak berlaku bagi sekolah yang tidak menerimanya.

Khusus untuk sekolah dengan sistem berasrama atau boarding school yang di dalamnya ada pembiayaan di luar SPP atau living cost, maka bagi sekolah dengan sistem ini dan menerima PSG, peruntukan dana bantuan PSG hanya untuk item SPP. Itu pun disesuaikan dengan besaran biaya SPP yang selama ini sudah diberlakukan.

Artinya, pada sekolah berasrama ini, bila jumlah SPP nya lebih kecil dari dana PSG, maka tidak lagi memungut iuran untuk SPP. Namun bila jumlah SPP nya lebih besar dibanding dana PSG, maka sisanya dapat dipungut dari wali siswa. Pastinya, dana PSG tidak untuk living cost seperti makan, laundry, perawatan asrama, dan yang semacamnya.

Di luar perkara PSG, Penulis menyarankan agar kebijakan lain seperti larangan untuk menggelar kegiatan study tour atau yang semacamnya, mohon ditinjau ulang. Program rutin tahunan yang telah berjalan sudah lama ini merupakan kegiatan yang biasanya telah disepakati oleh wali siswa berikut kesiapan mereka dalam hal pembiayaan.

Terakhir, sekolah itu ada yang negeri dan ada yang swasta. Karenanya, dalam setiap penyampaian statement pemerintah, mesti memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi ini. Jangan sampai masyarakat memaknai sekolah secara gebyah-uyah, sama rata. Padahal beda. Terima kasih.


Tangerang, Jumat, 7 Maret 2025
Penulis adalah Kepala SMAS Masyariqul Anwar Jayanti, Sekretaris II MKKS SMA Kabupaten Tangerang, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta (AKSeS) Provinsi Banten, Sekretaris Bidang Literasi ICMI Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar, Konsultan Pendidikan Regional Educational Development and Improvement Program (REDIP) Japan International Cooperation Agency (JICA)

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!