Pegiat Demokrasi Diminta Kawal Pra Tahapan Pemilu 2024
SABBA.ID | Pandeglang – Para Pegiat Demokrasi diminta untuk terus mengawal proses pra tahapan Pemilu 2024 seperti penyusunan regulasi, kandidasi calon, dan advokasi pemilih. Karena itulah titik krusial guna memperbaiki proses dari pelaksanaan Pemilu. Jika sudah memasuki tahapan, maka ruang-ruang kepemiluan akan banyak didominasi oleh kinerja KPU dan Bawaslu yang sangat prosedural.
Demikian disampaikan Anggota KPU Provinsi Banten Eka Satialaksmana pada acara Raker III Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) yang dihelat di Situs Cihunjuran, Kabupaten Pandeglang, Sabtu 7 Agustus 2021.
“Misalkan soal rencana KPU menyederhanakan surat suara. Masyarakat sedari sekarang harus terlibat apakah penyederhanaan surat suara itu akan memudahkan Pemilih, atau justru sebaliknya. Juga tentang penggunaan Sirekap untuk Pilkada. Pilkada 2020 lalu sudah digunakan. Apa evaluasinya. Di bidang kontestasi, juga harus dipotret bagaimana Parpol melakukan seleksi untuk mengisi pencalonan Legislatif dan Elsekutif. Masyarakat harus tahu persis. Jangan nanti sudah jadi Daftar Calon Tetap (DCT) di KPU, baru kemudian bereaksi. Sekali lagi, pra tahapan wajib dikawal secara ekstra,” kata Eka.
Kegiatan Raker juga menghadirkan Akademisi Unma Banten, Said Ariyan dan wartawan senior Saepudin selaku pembicara. Said menerangkan, di tengah himpitan irisan tahapan Pemilu dan Pilkada 2024 mendatang, KPU dituntut melakukan improvisasi yang efektif. Misalkan dengan penyempitan tahapan kampanye lewat penggunaan IT.
Lebih jauh Said mengkritisi tujuan dari keserentakan Pemilu yang didesain oleh Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu. Evaluasi Pemilu 2019, kata Said, terjadi dominasi kampanye Pilpres. Sementara hiruk pikuk kampanye Legislatif sama sekali tak terasa. Ironisnya, kampanye Pilpres itu dilatari oleh menguatnya politik identitas bermotif keagamaan, dan bagi Said, kondisi demikian sangat mungkin terjadi pada tahun 2024 jika KPU dan Bawaslu tidak menyiapkan perangkat pencegahan.
“Indikasi lain dari buruknya kualitas Pemilu 2019 lalu selain menguatnya politik identitas adalah tingginya angka surat suara tidak sah DPR dan DPD. Suara tidak sah pilpres itu hanya 2,38 persen atau 3,7 juta suara. Suara tidak sah DPR adalah 11,12 persen atau 17,5 juta suara. Dan yang tertinggi adalah DPD. Suara tidak sah mencapai 19,02 persen atau 29,7 juta suara. Begitu banyak suara pemilih yang terbuang percuma. Ini berpengaruh terhadap legitimasi pada lembaga perwakilan dan juga bahan evaluatif atas penerapan sistem pemilu proporsional dengan besarnya alokasi kursi untuk setiap dapil.”
Sementara itu, Saepudin mendorong peran masyarakat sipil ke wilayah pendidikan dan advokasi penggunaan medsos. Aep, sapaan Saepduin, menuturkan, perang pendukung capres di medsos disertai hasutan dan ujaran kebencian menurunkan kadar demokrasi.
“Masyarakat harus lebih bijak bermedsos. Pilah setiap sumber berita. Verifikasi terlebih dahulu. Jangan larut pada pengkubuan pendukung karena pada akhirnya politik itu sangat cair. Tidak kaku. Bisa jadi yang dulunya bersebrangan, kini justru berbarengan. Sementara energi masyarakat sudah habis dengan gontok gontokan di medsos,” kata Aep.
Kordum (Kordinator Umum) JRDP Anang Azhari menjelaskan, setidaknya Raker (Rapat Kerja) akan menyoroti enam hal yang berkenaan dengan Kepemiluan. Yakni Pencalonan, Penyusunan Daftar Pemilih, Kampanye, Penghitungan dan Rekapitulasi Suara, Penguatan Kelembagaan KPU, Bawaslu, dan DKPP, serta konsolidasi Civil Society.
“Secara internal, raker kami gunakan untuk ajang evaluasi ke dalam. Kami akan perbaiki sektor kelembagaan, kaderisasi, dan pendanaan,” kata Anang.
Raker III JRDP dihadiri oleh relawan dan delegasi dari lima wilayah. Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang (Rls/Red)