Wapres UIN Banten: Polemik dan Kontroversi Revisi UU SISDIKNAS
Polemik tentang revisi UU SISDIKNAS menuai banyak kontroversi dan ke-khawatiran banyak pihak. Bagaimana tidak, penghapusan frase Madrasah dari batang tubuh UU tersebut seakan akan melemahkan jenjang pendidikan berbasis Islam di Indonesia.
Seperti diketahui bahwa sekarang sebelum maraknya pendidikan formal yang berlaku beserta semua kurikulumnya, pendidikan non formal seperti madrasah serta Pondok Pesantren sudah jauh lebih lama lahir dan menjadi salah satu pendorong peradaban pendidikan Indonesia.
Penghapusan frase Madrasah pada UU ini sama halnya menghilangkan seluruh rentetan peristiwa serta sejarah majunya pendidikan kita. Sejatinya revisi undang-undang dilakukan untuk memutakhirkan suatu kebijakan serta peraturan perundangan-undangan, sedangkan pada kenyataannya tidak bisa menjadi alternatif pengobatan problematika pendidikan sekarang.
Di dalam revisi ini diciptakannya penggabungan beberapa peraturan perundangan-undangan, yakni diantara nya :
1. UU SISDIKNAS NO. 20 Tahun 2003
2. UU Guru dan Dosen NO. 14 Tahun 2005
3. UU Perguruan tinggi negeri NO. 12 Tahun 2012.
Terlebih lagi didalamnya tidak disebutkan dengan jelas apa arti dan makna dasar sistem pendidikan nasional, karena banyak hal yang meliputi peraturan perundang-undangan yang menjelaskan tentang UU pondok pesantren, UU kedokteran serta 23 UU lainnya yang menjelaskan tentang pendidikan.
Dalam hal ini sudah bisa teridentifikasikan bahwa dalam penyusunan revisi undang-undang sisdiknas dilaksanakan secara tergesa-gesa dan cacat secara prosedur hukum karena minimnya partisipasi publik atau stakeholder yang menguasai secara penuh dalam bidang pendidikan.
Naskah akademik serta rancangan undang-undang ini masih dirahasiakan oleh kementerian terkait dan DPR, dan ini tidak sesuai dengan yang dijelaskan dalam UU NO.14 Tahun 2008 tentang transparansi informasi publik.
Beberapa pasal di dalam revisi ini diduga kuat akan memberikan dampak buruk terhadap pendidikan Indonesia karena akan terbukanya peluang liberalisasi serta komersialisasi dalam bidang pendidikan yang dijelaskan dalam pasal 18 tentang pendidikan formal yang meliputi pra-persekolahan, persekolahan, dan persekolahan mandiri.
Dalam persekolahan mandiri inilah masyarakat bebas untuk membangun lembaga pendidikan yang memiliki legalitas pemerintah. Hal ini akan membuat lembaga pendidikan mandiri akan selalu bersaing memajukan pendidikannya dan melahirkan sifat favoritisme yang berakhir kepada mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, akan semakin banyak masyarakat yang tidak bisa meraih pendidikan secara layak. Dan beberapa pasal juga menjelaskan tentang kewajiban pemerintah dan juga masyarakat wajib bertanggung jawab dalam membiayai segala bentuk pendidikan.
Akan tetapi pemerintahan yang bertanggung jawab memberikan biaya pendidikan dasar hal ini akan semakin menjauhkan kita dari pendidikan yang gratis dan demokratis sesuai dengan harapan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan.
Jika kita membahas tentang pendidikan maka yang akan kita bahas juga adalah tenaga pendidik, tidak ditetapkannya UU yang mengatur tentang batas minimum upah tenaga pendidik akan semakin melanggengkan ketidaksejahteraan para tenaga pendidik, terutama bagi para tenaga pendidik yang masih honorer.
Upaya-upaya pemerintah dalam membuat kebijakan bagi masyarakat dinilai Gagal karena tidak sesuai dengan situasi objektif dan kebutuhan masyarakat Indonesia hari ini terutama dalam pemerataan bidang pendidikan, Kesalahan fatal dalam membuat kebijakan pendidikan akan menjerumuskan generasi bangsa kepada jurang kebodohan.
Penulis: Wildan Mufti Maqi (Wakil Presiden Mahasiswa UIN SMH Banten)