Selamatkan Demokrasi dengan Memperkuat Ideologi Partai
Pun demikian dengan pemerintahan di tingkat nasional. Bagaimana kemudian, Partai Golkar, PPP, dan PAN kemudian bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, pada periode 2014-2019. Padahal, pada Pilpres 2014, ketiga parpol tersebut sama sekali tidak mendukung Jokowi-JK. Dan apalagi yang menarik adalah atraksi dari Partai Gerindra. Sebegitu keras mereka menjadi penantang serius Jokowi-Maruf Amin pada Pilpres 2019, kemudian dua pentolan Partai Gerindra, yang kali itu didapuk menjadi capres-cawapres, justru kini menjadi anggota kabinet Jokowi-Maruf Amin. Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Apapun dalih dan pertimbangannya, bergabungnya Prabowo dan Sandi menjadi anggota kabinet, adalah bentuk pengelolaan ideologi di partai yang mereka naungi.
Menjadi penguasa dan oposisi sejatinya sama-sama terhormat dan bermartabat. Sekuat apapun sistem presidensial yang kita jalani, sekelompok oposisi tetap harus ada dan menghiasi jalannya pemerintahan. Disitulah kemudian fungsi keseimbangan terjadi. Konsistensi PDI Perjuangan menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan SBY, tahun 2004-2014, layak mendapat apresiasi. Pun demikian yang sedang dilakoni Partai Demokrat dan PKS sekarang. Secara disiplin, Partai Demokrat dan PKS tetap menobatkan diri menjadi parpol oposisi sejak Jokowi berkuasa tahun 2014 silam sampai sekarang. Sikap demikianpun layak mendapat angkat topi.
Setelah Pemilu 1999 sampai sekarang, Indonesia sudah dipandu oleh 4 presiden dengan afiliasi parpol yang berbeda. Presiden Gus Dur sebagai pendiri PKB menjabat mulai Oktober 1999 sampai dengan Juli 2001. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, menjabat mulai Juli 2001 hingga Oktober 2004. Lalu Presiden SBY, Ketua Umum Partai Demokrat, menjabat sejak 2004 hingga 2014. Dan Presiden Jokowi, kader PDI Perjuangan, menjabat sejak 2014 hingga nanti 2024.