Soal BPO Kepala Daerah, Wagub Andika: Pemprov Banten Sudah Sesuai Aturan
SABBA.ID | Serang – Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy mengaku pihaknya sudah melakukan sesuai aturan yang berlaku terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban Biaya Penunjang Operasional (BPO) Gubernur dan Wakil Gubernur. Selain itu, Pemprov Banten juga senantiasa penuh kehati-hatian dalam mengelola keuangan daerah guna memastikan setiap penggunaan uang Negara sudah tepat berdasarkan aturan dan tidak ada penyimpangan.
“Kan memang sudah jelas itu PP (peraturan pemerintah) dan Permendagri-nya (peraturan menteri dalam Negeri), jadi kami tidak akan keluar dari itu,” kata Andika kepada pers usai menghadiri rapat paripurna DPRD Banten tentang pengajuan raperda tentang RTRW 2022-2042 di gedung DPRD Banten, Kota Serang, Selasa (15/2). Andika menjawab pers soal dilaporkannya BOP Gubernur dan Wagub Banten 2017-2021 oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejaksaan Tinggi Banten beberapa waktu lalu.
Terkait pelaporan itu sendiri, Andika berpendapat, Pemprov Banten melihat hal itu sebagai proses dari demokrasi, dimana siapapun diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan pemahaman masing-masing. Andika bahkan mengaku pihaknya sudah sering berkordinasi dengan Kejati Banten dalam setiap melaksanakan kebijakan atau kegiatan yang sifatnya membutuhkan asiatensi hukum.
Lebih jauh Andika menyebut, BPO bukan hanya diperuntukkan bagi kepala daerah, melainkan juga diberikan kepada pimpinan DPRD. Kepala daerah dan pimpinan DPRD, lanjutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan BPO guna mendukung pelaksanaan tugasnya. “Dan di setiap daerah juga ini kan memang ada, tapi besarannya yang berbeda-beda karena disesuaikan dengan PAD (pendapatan asli daerah),” imbuhnya.
Sementara itu Kepala Biro Adpim Setda Pemprov Banten Benny Ismail melalui rilisnya menerangkan, BPO itu sendiri besarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 dalam PP tersebut menyebutkan, BPO adalah biaya untuk mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Kemudian, pada Pasal 8 huruf h dijelaskan bahwa BPO dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Adapun untuk besaran BPO sendiri, setiap daerah tidak sama. Pengaturan BPO ini disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah yang mengacu pada besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada Pasal 9 juga disebutkan, berdasarkan perhitungan, PAD Provinsi Banten berada pada level di atas Rp500 miliar, sehingga perhitungan besaran BPO-nya 0,15 persen dari total PAD.
Penganggaran BPO itu sendiri,masuk pada kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dengan jenis belanja pegawai, objek belanjanya penerimaan lainnya Pimpinan dan Anggota DPRD serta KDH/WKDH dengan rincian biaya penunjang operasional KDH/WKDH. Anggaran itu setiap tahunnya dialokasikan di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Banten, dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara yang berbeda-beda. Pada tahun 2017-2018 anggaran itu ada di Biro Umum, 2019-2020 ada di Biro ARTP dan tahun 2021 kembali lagi di Biro umum.
Sedangkan untuk mekanisme pencairannya, diawali dari Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Biro yang bersangkutan dan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) yang diterbitkan oleh Kepala Biro selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Selanjutnya, dilakukan pengajuan kepada BPKAD selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) untuk diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana Langsung (SP2D-LS) berdasarkan SPM LS yang disertakan. Sedangkan untuk pertanggungjawabannya mengacu kepada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dalam Permendagri tersebut, pada Pasal 38 menyebutkan bahwa uang representasi dan tunjangan Pimpinan dan Anggota DPRD serta gaji dan tunjangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dianggarkan dalam belanja pegawai. Selanjutnya, berdasarkan Lampiran Permendagri Nomor 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran SKPD dan Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD serta Penyampaiannya, menyatakan bahwa SPP, SPM LS yang pertanggungjawabannya berupa daftar atau kwitansi (lumpsum).
Bahwa berdasarkan hal diatas, maka untuk pertanggungjawaban biaya penunjang operasional termasuk Pada kelompok belanja tidak langsung pada jenis belanja pegawai, sebagaimana pembayaran dan pertanggungjawabannya terhadap Gaji dan tunjangan serta Tambahan penghasilan PNS, dengan pertanggungjawaban berupa daftar tanda terima dan/atau bukti transfer. Sehingga ditarik kesimpulan, bahwa PP Nomor 109 Tahun 2000 tidak mengamanatkan tentang pertanggungjawabannya, namun mengatur batasan besaran pemberian Biaya Penunjang Operasional KDH/WKDH. Kemudian pertanggungjawaban untuk biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pertanggungjawabannya adalah berupa tanda terima dan/atau bukti transfer.
Sebelumnya diberitakan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan kasus dugaan korupsi biaya penunjang operasional (BPO) Gubernur dan Wakil Gubernur Banten ke Kejati Banten. Dugaan korupsi tersebut terjadi sejak tahun 2017 hingga 2021 dilaporkan MAKI pada Senin (14/2/2022) melalui saluran elektronik dan nomor hotline pengaduan masyarakat di Kejati Banten . Dikatakan Boyamin, biaya operasional kepala daerah tersebut diduga tidak dibuatkan laporan pertanggungjawabannya selama lima tahun. ***