Ruang TokohSerangTerkini

Bonus Demografi, Indonesia Dalam Lingkaran Konsumerisme

SABBA.ID | Pada era disrupsi kita dituntut untuk menguasai teknologi, hal ini berimplikasi dengan bonus demografi yang saat ini terjadi hingga 2030, pasalnya penguasaan teknologi yang akan menunjang generasi milenial dan generasi Z dalam menghadapi bonus demografi di mana dunia kerja di dominasi oleh penggunaan teknologi yang semakin canggih dan maju.

Namun, timbul pertanyaan apakah generasi milenlial dan generasi Z dalam menghadapi bonus demografi cukup dengan penguasaan teknologi. Mari kita bahas

Advertisement Space

Pembahasan ini sebetulnya sangat kompleks, di mana pada masa bonus demografi berbarengan dengan era perubahan terjadi besar-besaran atau yang dikenal dengan era disrupsi. Perkembangan dan kemajuan teknologi berdampak terhadap sosial, budaya, dan politik.

Kunci keberhasilan saat ini dalam menghadapi bonus demografi  terletak pada bagaimana generasi milenial dan generasi Z bisa menguasai dan adaptasi dengan era disrupsi, sudah dijelaskan di atas bahwasanya era disrupsi ini berdampak terhadap sosial, baik dampak positif maupun negatif.

Salah satu dampak yang timbul ialah budaya konsumerisme. Masyarakat konsumtif memang memiliki pengaruh baik terhadap perekonomian yaitu meningkatnya PDB, namun di sisi lain konsumerisme dapat menyebabkan dampak buruk terhadap psikologis generasi milenial dan generasi Z, di mana  cenderung terhadap perilaku boros, individual, dan selalu tidak puas. Gejala-gejala perubahan sosial akibat dari globalisasi yang terjadi pada era disrupsi ini cenderung mengarah pada hal negatif.

Membahas tingkat konsumtif, tidak lepas dari sejarah bagaimana terciptanya konsumerisme, kapitalisme, dan sistem ekonomi Indonesia. Kita akan membahas satu persatu kemudian implikasinya dengan bagaimana generasi milenial dan generasi Z menghadapi bonus demografi.

konsumtif mengalami perubahan orientasi pada manusia, konsumtif terhadap kebutuhan dasar memang sudah menjadi kodrat manusia, makhluk yang hanya bisa melakukan aktivitas konsumsi, namun seiring berkembangnya industrialisasi, globalisasi, dan teknologi mengubah orientasi itu, status sosial menjadi biang dari budaya konsumerisme, pembuktian kelas sosial dengan melakukan konsumtif yang berlebihan.

Dilansir dari kompasina.com (4 Februari 2022) Mengutip pendapat dari seorang sosiologi Inggris Colin Campbell, Konsumerisme adalah pola konsumsi masyarakat yang menjadi pusat dan menjadi tujuan hidup. Hal itu memungkinkan konsumerisme menjadi fokus utama dari kehidupan. Masalah yang muncul saat konsumsi menjadi tujuan hidup maka tidak lagi memikirkan cara bagaimana produksi. Hal ini menjadi dorongan merebaknya konsumerisme pada generasi milenial dan generasi Z, pasalnya dengan perkembangan media sosial  berbelanja bisa dilakukan di mana saja.

Advertisement Space

Dilansir dari Geotimes.id (10 Maret 2018) Hasil riset lembaga ilmu pengetahuan Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tergolong tipe masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dalam perilaku konsumtifnya, bila di bandingkan negara yang cukup mapan semisal Skandanavia dan Swiss, Indonesia menduduki peringkat ketiga yang cukup konsumtif dari total 106 negara yang menjadi sampel, justru negara tersebut malah menempati posisi ke 60 dan 70. Terlihat bahwasanya tingkat konsumtif tinggi tidak menjadi tolak ukur majunya ekonomi sebuah negara dan pada kenyataannya meskipun negara Indonesia memiliki tingkat kepercayaan tinggi dalam perilaku konsumtif sampai saat ini belum bisa mengangkat perekonomian.

Penulis : Firmansyah Marghana, Mahasiswa UNIBA 2019.

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Wett

Matiin Adblock Bro!