Peri Sandi Huizhe: Menawar “Vibe” Cover Anak-anak Muda Banten
Ada satu pertanyaan yang selalu saya lontarkan pada khalayak pemain musik (muda) di Banten, terutama berkaitan dengan “seberapa keren kah anak muda Banten memainkan karya musik sendiri bila dibandingkan dengan musik cover?”
Pertanyaan ini sebenarnya ingin coba membongkar jangkauan harapan anak-anak muda Banten dalam bermain musik, sekaligus mengurai permasalahan pokok dalam memainkan karya musik sendiri.
Bila dirata-rata jawabannya berkutat pada alasan-alasan klasik, seperti respon apresiator terhadap karya musik sendiri timbal-baliknya hambar dan biasa saja, berbeda dengan memainkan musik dari penyanyi atau band yang sudah terkenal (cover) sambutannya riuh tepuk tangan, kadang penonton jejingkrakan dan hasilnya membahagiakan.
Awalnya, saya berpikir “vibe” cover wajar, tetkala penonton dan pengkarya meniatkan diri untuk mencari hiburan, melepas lelah, dan lain sebagainya. Sampai di sini saya pikir tak jadi persoalan. Berbeda bila mana hal semacam itu diterapkan dalam sebuah gerakan bermusik, bagian terpentingnya justru terletak pada proses menciptakan karya.
Sejauh ini, saya melihat perbedaan mencolok dari proses cover, era zaman radio dan “tape palyer” sampai era youtube. Para pemusik (sebelum youtube) dipaksa harus menajamkan feel-intuisi dalam proses mengulik, itu artinya telinga yang menjadi sumber utama dan skill musik harus berkelindan dan tajam dalam menyusuri nada-nada yang tersaji dalam sebuah lagu.
Lain halnya pada proses cover hari ini sepertinya mereka hampir tidak lagi menggunakan feel-intuisi sebagai alat untuk mengulik lagu-lagu orang, sebagian dari mereka justru merujuk tutorial video yang dengan mudah bisa ditemukan di youtube.
Menggeliatkan Gerakan Musik
Platform Radio dan paltform Media Sosial saat ini kiranya menjadi medium yang akan setia menampung karya, khususnya musik. Namun di lain sisi mempersiapkan apresiator yang asyik mesti menjadi perhatian penting dalam proses menggeliatkan gerakannya.
Dalam upaya menggeliatkan musik di Banten saat ini, kiranya anak-anak muda mesti berkumpul dan membuat ekosistem yang asyik, dengan kata lain penonton dan pengkarya mesti sama-sama bertemu secara sadar dan rutin untuk saling memberi martabat. Seperti misalnya membuat panggung-acara rutin tiga bulanan untuk mewadahi anak-anak muda yang punya karya sendiri__mendengarkan karya baru, masukan-masukan baru dan membuat ruang diskusi untuk saling menguatkan kepercayaan diri.
Saya kira persoalan pembawaan karya musik sendiri berkelindan dengan jangkauan apresiator terhadap sistem penciptaan sebuah karya, bahwa ruang itu harus menegaskan ungkapan “menjadi pencipta jauh lebih berharga dibandingkan dengan membawakan lagu orang” Selain itu, ruang itu bisa jadi medium baru dalam upaya mempersiapkan arsip penonton dan pengkarya di masa depan.
Kolektif-UnZzzz Musik
Sadar akan pentingnya ruang pertemuan karya dan penonton, Kolektif Banten Girang bersama Unrest dan ADJ menawarkan sebentuk acara yang akan memediasi keduanya. Tepatnya dalam acara Panggung Halal Bi Halal, hari kamis, tanggal 05 Mei 2022, di Unrest Kopi yang beralamat di Jl.Gelam, Ciracas (Disebrang perumahan Sepang Mountain) Kota Serang.
Praktik kolektif musik yang dimaksudkan bisa dikatakan : penonton akan mendengarkan lagu yang dibawakan dan berhak menanggapinya dengan santuy-terkendali sambil ngopi serta tak lupa haha-hihi.
Penulis : Peri Sandi Huizhe